Syarat Pembentukan Prefiks Bahasa Sopan ‘O’ dalam Kata Benda

Oleh Thia Juwita Fajarwati

Pengguna bahasa Jepang, terutama native kerap menambahkan awalan ‘o’ pada sebuah kata guna menimbulkan kesan sopan. Beberapa kata yang kerap dijumpai diimbuhi awalan ‘o’ adalah onomimono, odaikon, omame, omochi, oheya, odaidokoro, ozubon, okutsu, omikan. Di sisi lain, native malah merasa aneh atau tidak terbiasa menambahkan awalan ‘o’ untuk beberapa kata berikut meskipun bermaksud menimbulkan kesan sopan saat mengucapkannya. Adapun contoh kata tersebut adalah otabemono, oninjin, oume, oyakiniku, oima, ogenkan, oshatsu, owaraji, okaki. Hal ini sangat menarik untuk digali karena pada dasarnya beberapa kata tersebut masih dalam satu kelompok kata.

Beberapa penelitian mengenai penggunaan awalan ‘o’ dalam ungkapan Keigo ini. Oishi (1975) menyebutkan bahwa salah satu alasan sebuah kata mudah atau sulit dibubuhi awalan ‘o’ adalah panjang atau pendeknya kata tersebut. Kata yang Panjang cenderung sulit dibubuhi awalan ‘o’ dan sebaliknya kata yang pendek akan lebih mudah dibubuhi awalan ‘o’. Selain itu, kata yang diawali dengan bunyi ‘o’ juga cenderung sulit dibubuhi awalan ‘o’. Selain itu, Horikawa dan Hayashi (1977:21) menyebutkan bahwa bahasa serapan cenderung sulit dibubuhi awalan ‘o’ meskipun terdapat beberapa pengecualian misalnya, obiiru, osoosu, dan ozubon. Kikuchi (1996:95) menyebutkan bahwa beberapa kata sangat lumrah dibubuhi awalan ‘o’ sementara kata yang lain akan terdengar seperti bahasa sopan yang berlebihan ketika dibubuhi awalan ‘o’.

Dari penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya, masih terdapat beberapa hal yang masih belum terjawab. Misalnya mengenai hubungan penggunaan awalan ‘o’ dengan panjang atau pendeknya kata. Pada kenyataanya daikon dan ninjin memiliki jumlah suku bunyi yang sama, namun daikon lumrah dibubuhi awalan ‘o’ sedangkan ninjin tidak. Selain itu, penggunaan ‘oninjin’ dianggap berlebihan. Yang masih belum terjawab adalah mengapa ‘odaikon’ tidak meninmbulkan kesan berlebihan dalam penggunaannya. Dengan begitu, penulis bermaksud menggali lebih dalam lagi penggunaan awalan ‘o’ dalam ungkapan yang dimaksudkan menambah kesan sopan.

Angket digunakan sebagai sumber utama untuk menganalisis kata seperti apa yang lumrah dibubuhi awalan ‘o’ dan sebaliknya. Angket berisi 55 kata dari kelompok kata sayuran, buah-buahan, wagashi, bumbu masak, minuman, bagian rumah, olahraga, benda pembungkus, dan bagian tubuh. Dalam angket juga diberikan pilihan situasi penggunaan yang terdiri dari kehidupan sehari-hari, dunia bisnis, situasi formal, dunia pendidikan, situasi yang berhubungan dengan agama/spiritual. Angket disebarkan kepada 44 koresponden native secara acak. Korersponden harus menandai apakah pernah mengatakan atau pernah mendengar kata yang sudah dibubuhi awalan ‘o’. Selain itu, koresponden juga harus memilih situasi di mana pernah mengatakan atau mendengar kata tersebut. Dari hasil angket tersebut, ditarik kesimpulan mengenai kelompok kata yang lebih lumrah dibubuhi awalan ‘o’ dan tidak serta alasan mengapa dalam kelompok yang sama terdapat kata yang lumrah dibubuhi awalan ‘o’ dan tidak.

Hasil angket menunjukkan dalam kelompok sayuran, dari enam kata yang diajukan, terdapat dua kata yang lumrah dibubuhi awalan ‘o’. Dalam kelompok buah-buahan terdapat satu dari tujuh kata. Dalam kelompok wagashi terdapat tiga dari empat pilihan kata yang disediakan. Dalam gabungan kelompok makanan, minuman, dan bumbu masakan terdapat delapan dari 14 kata yang lumrah dibubuhi awalan ‘o’. Dalam kelompok bagian rumah terdapat dua dari tujuh. Dalam kelompok olahraga terdapat satu dari enam. Dalam kelompok jenis kata yang biasa digunakan untuk membungkus benda lain terdapat dua dari empat. Yang terakhir, dalam kelompok bagian tubuh manusia terdapat satu dari tujuh kata yang lumrah dibubuhi awalan ‘o’.

Dari hasil tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa kelompok kata wagashi, makanan dan minuman, dan kelompok benda pembungkus adalah kelompok kata yang paling lumrah dibubuhi awalan ‘o’. Hal tersebut dapat disimpulkan dari jumlah kata yang dipilih koresponden (pernah mendengar atau pernah menyebutkan) sebanyak 50% atau lebih. Sebaliknya, dengan jumlah kat ayang terpilih kurang dari 50%, kelompok kata sayuran, buah-buahan, bagian rumah, olahraga, bagian tubuh manusia adalah kelompok kata yang tidak lumrah untuk dibubuhi awalan ‘o’.

Di antara kelompok kata yang tidak lumrah dibubuhi awalan ‘o’ masih terdapat beberapa kata yang menurut koresponden sering diucapkan atau didengar berawalan ‘o’. Contohnya dalam kelompok sayuran, dari 44 koresponden 36 orang yang menyatakan pernah mendengar kata omame dan 33 orang menyatakan pernah mendengar kata onasu. Jika diperhatikan, omame dan onasu adalah dua jenis sayuran yang digunakan dalam festival. Mame digunakan dalam festival setsubun dan nasu digunakan dalam festival obon. Dapat disimpulkan bahwa kata dalam kelompok sayuran yang tergolong mudah dibubuhi awalan ‘o’ adalah kata yang memiliki kaitan dengan festival atau kepercayaan. Mame dalam festival setsubun digunakan untuk melempar jin yang dipercaya oleh masyarakat Jepang dapat mengusir kesialan. Nasu dalam festival obon melambangkan salah satu kendaraan yang menjemput arwah para leluhur. Jadi, kata yang berhubungan dengan budaya dan terutama kepercayaan masyarakat Jepang terlihat lebih lumrah dibubuhi awalan ‘o’.

Selanjutnya, dalam kelompok buah-buahan omikan dan oringo adalah dua contoh yang paling lumrah dibubuhi awalan ‘o’. Keduanya memiliki ciri dapat ditemui dengan mudah sepanjang tahun, tidak seperti buah lainnya yang hanya bisa ditemui di musim tertentu.Dengan kata lain, disimpulkan bahwa buah-buahan yang mudah ditemui sepenjang tahun dan familiar dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Jepang akan lebih lumrah dibubuhi awalan ‘o’. Begitu juga dengan kata dalam kelompok bagian rumah, koresponden menyatakan sering mendengar kata oheya, obenjo, dan ogenkan karena ketiga kata tersebut sangat sering digunakan dalam percakapan sehari-hari.

Dalam kasus kelompok olahraga, dari enam contoh yang disajikan, osumo adalah satu-satunya yang mendapatkan hasil terbanyak, yakni 34 suara. Hal tersebut diyakini karena sumo adalah olahraga tradisional yang sangat tua dan keberadaannya tidak bisa dihilangkan dari tengah masyarakat Jepang. Sumo telah mendarah daging di tengah masyarakat Jepang dibandingkan olahraga tradisional lain yang dicantumkan dalam angket (karate dan shogi).

Sementara itu, pada kelompok kata bagian tubuh manusia, semua kata yang disajikan dalam angket mendapat suara dari koresponden meski lebih banyak suara yang menyatakan perndah mendengarnya daripada menyebutkannya sendiri. Di antara tujuh pilihan yang disajikan, mimi mendapatkan hasil 26 suara koresponden dan te mendapatkan 17 suara koresponden. Keduanya merupan yang paling banyak dipilih koresponden. Dari hasil angket juga dapat disimpulkan bahwa kedua kata tersebut digunakan dalam banyak situasi, utamanya dalam kehidupan sehari-hari dan dalam dunia pendidikan. Dapat disimpulkan pula bahwa ada kemungkinan keduanya sering digunakan dalam pendidikan dini. Orangtua atau guru mengajarkan nama bagian tubuh kepada anak kecil dengan menggunakan bentuk sopan berawalan ‘o’.

Mengenai permasalahan mengapa onomimono lumrah digunakan sedangkan otabemono tidak, penulis mencoba menganalisis dari sisi penggunaannya. Onomimono adalah ungkapan yang hanya digunakan dalam dunia bisnis. Nyatanya ketika menanyakan pesanan yang berupa makanan, pelayan restoran tidak menggunakan otabemono, melainkan gochuumon. Hal ini dirasa menjadi alasan mengapa otabemono tidak digunakan, yakni karena sudah terdapat ungkapan lain yang menggantikannya. Sehubungan dengan penggunaan odaikon dan oninjin, dapat disimpulkan alasan mengapa oninjin tidak lumrah digunakan adalah karena ninjin merupakan sayuran yang masih baru dikenal oleh masyarakat Jepang dibandingkan daikon. Hal ini sama dengan kasus yang terjadi pada sumo. Daikon telah berada di tengah masyarakat Jepang sejak lama dan keberadaannya tidak dapat dihapus dari tengah masyarakat Jepang. Sementara itu, berkaitan dengan penggunaan o pada bahasa serapan, masyarakat Jepang lebih lumrah membubuhkan awalan ‘o’ pada zubon dan tidak membubuhkannya pada shatsu disebabkan karena zubon lebih umum digunakan baik oleh wanita dan pria. Shatsu lebih banyak digunakan untuk menyebut atasan yang digunakan oleh pria. Jadi, zubon memiliki tingkat penggunaan yang lebih tinggi dibandingkan shatsu.

Dengan dilakukannya penelitian terhadap syarat penggunaan prefiks bahasa sopan ‘o’ kali ini, akan menimbulkan pertanyaan lain seperti bagaimana dengan penggunaan prefiks bahasa sopan ‘go’. Hal ini dapat menjadi tema penelitian di masa yang akan datang.